NAMA : TEGUH PRASETYO H
NPM : 11107669
KELAS : 3 KA 16
SEJARAH PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA
Penelusuran perkembangan bahasa Indonesia bisa dimulai dari pengamatan beberapa inskripsi (batu bertulis) atau prasasti yang merupakan bukti sejarah keberadaan bahasa Melayu di kepulauan Nusantara. Prasasti-prasasti itu mengungkapkan sesuatu yang menggunakan bahasa Melayu, atau setidak-tidaknya nenek moyang bahasa Melayu.
Nama-nama prasasti adalah:
1. Kedukan Bukit (683 Masehi),
2. Talang Tuwo (684 Masehi),
3.
4. Karang Brahi (686 Masehi),
5. Gandasuli (832 Masehi),
6.
7. Pagaruyung (1356) (Abas, 1987: 24)
Prasasti-prasasti itu memuat tulisan Melayu Kuno yang bahasanya merupakan campuran antara bahasa Melayu Kuno dan bahasa Sanskerta.
- Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di tepi Sungai Tatang di Sumatera Sedlatan, yang bertahun 683 Masehi atau 605 Saka ini dianggap prasasti yang paling tua, yang memuat nama Sriwijaya.
- Prasasti Talang Tuwo, bertahun 684 Masehi atau 606 Saka, menjelaskan tentang konstruksi bangunan Taman Srikestra yang dibangun atas perintas Hyang Sri-Jayanaca sebagai lambang keselamatan raja dan kemakmuran negeri. Prasasti ini juga memuat berbagai mantra suci dan berbagai doa untuk keselamatn raja.
- Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangsa dan prasasti Karang Brahi di Kambi, keduanya bertahun 686 Masehi atau 608 Saka, isinya hampir sama, yaitu permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan kerajaan Sriwijaya, agar menghukum para penghianat dan orang-orang yang memberontak kedaulatan raja. Juga berisi permohonan keselamatan bagi mereka yang patuh, taat, dan setia kepada raja Sriwijaya.
Jika berbagai prasasti tersebut bertahun pada zaman Sriwijaya, bisa disimpulka bahwa bahasa Melayu Kuno pada zaman itu telah berperan sedbagai lingua franca. Atau, ada kemungkinan sebagai bahasa resmi pada zaman Sriwijaya. Kesimpulan ini diperkiat oleh keterangan I Tsing tentang bahasa itu bahwa bersama dengan bahasa Sanskerta, bahasa Melayu (diistilahkan Kw’en Lun) memegang peranan penting di dalam kehidupan politik dan keagamaan di negara itu (Sriwijaya).
Selain berbagai prasasti tersebut, terdapat pula beberapa catatan yang bisa dijadikan sumber informasi tentang asal-usul bahasa Melayu. Sejarah kuno negeri Cina turut membuktikan tentang keberadaan bahasa Melayu tersebut. Pada awal masa penyebaran agama Kristen, pengembara-pengembara Cina yang berkunjung ke Kepulauan Nusantara menjumpai adanya berbagai lingua franca yang mereka namai Kw’en Lun di Asia Tenggara. Salah satu di antara Kw’en Lun itu oleh I Tsing diidentifikasi di dalam Chronicle-nya sebagai bahasa Melayu.
Untuk keperluan perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, Traktat London (Perjanjian London) 1824 antara pemerintah Inggris dan Belanda merupakan tonggak sejarah yang sangat penting. Sebab, pada traktat itu antara lain berisi kesepakatan pembagian dua wilayah, yaitu:
(1) Semenanjung Melayu dan Singapura besera pulau-pulau kecilnya menjadi kekuasaan kolonial Inggris; dan
(2) Kepulauan Nusantara (Kepulauan Sunda besar: pulau-pulau Sumatera, Jawa, sebagian Borneo/kalimantan, dan Sulawesi; Kepulauan Sunda kecil: pulau-pulau Bali, LOmbok, Flores, Sumbawa, Sumba, sebagian
Oleh karena itu, perkembangan bahasa Melayu ini dapat dikelompokkan menjadi dua periode, yaitu (1) periode sebelumm Traktat London, dan (2) periode setelah Traktat London.
Perkembangan bahasa Melayu sebelum Traktat London
Perkembangan bahasa Melayu sebelum Traktat London ini dapat disistematisasikan ke dlam beberapa era, sub-era, dan periode seperti berikut:
1) Era Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai dengan abad ke-11 Masehi)
2) Era Kerajaan-keraan Melayu (abar ke-12 sampai dengan abad ke-19 Masehi):
A. Sub-era Kerajaan Melayu Bintan-Tumasik (abad ke-12 sampai dengan abad ke-13 Masehi)
B. Sub-era Kerajaan Meayu Riau (abad ke-14 sampai dengan abad ke-19 Masehi):
a) Periode Kerajaan Malaka (abad ke-14 sampai dengan abad ke-15 Masehi)
b) Periode Kerajaan Johor (abad ke-16 sampai dengan abad ke-17 Masehi)
c) Periode Kerajaan Riau-Lingga (abad ke-18 sampai dengan abad-19 Masehi)
3) Era Pemisahan Tahun 1824
Perkembangan bahasa Melayu sebagaimana disitematisasikan tersebut sangat berkaitan dengan perkembangan bahasa Melayu pasca Traktat London 1824, karena bahasa Melayu berkembanga menjadi tiga arah, yaitu:
a) di Indonesia menjadi Bahasa Indonesia;
b) di Malaysia menjadi BahasaMalaysia;
c) si
d) di Singapura menjadi Bahasa Nasional.
Era Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai dengan abad ke-11 Masehi)
Sebagai kerajaan maritim, Sriwijaya mengalami masa kejayaan relatif cepat oleh lokasinya yang sangat strategis pada Selat Malaka, suatu pusat perdagangan yang penting selama berabad-abad lamanya.
Dengan demikian, Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat kegiatan hajat manusia dan pusat administrasi kerajaan dan daerah-daerah taklukannya. Sriwijaya juga merupakan pusat pendidikan, kebudayaan, dan keagamaan. Abas (1987) mengulangi apa yang pernah ditulis oleh Gregoris F. Zaide, seorang ahli sejarah Filipina terkemuka, mengenai kejayaan Kerajaan Sriwijaya pada era itu:
The Empire of Sriwijaya (Sri-Vishaya) emerged from the ashes of the maritime colonialism of Pallawa from 8th ventury to 1377 AD. Founded by Hindunized Malays, it was basucally Malayan in might, Hindunistic in culture, and Buddhistic in religion. The empire was so named after the capital, Sri-Vishaya,
Menurut Mees (1954) Sriwijaya mendirikan suatu perguruam tinggi Buddha yang mahasiswanya datang dari semua penjuru kawasan yang dikuasainya. Beberapa dari mahasiswa bahka datang dari kerajaan-kerajaan tetangga Champa dan Kamboja. Bahasa pengantar pada perguruan tinggi itu dan pusat-pusat pendidikan lainnya adalah bahasa melayu kuno atau lingua franca Kw’en Lun.
Era Kerajaan-keraan Melayu (abar ke-12 sampai dengan abad ke-19 Masehi):
Pemakaian bahasa Melayu yang dipengaruhi bahasa Sansekerta telah mendominasi Kerajaan Sriwijaya. Hal ini jelas terlihat pada berbagai inskripsi batu bertulis yang ditemukan pada berbagai tempat di
Era ini dapat dibagi menjadi dua sub-era, yaitu sub-era Kerajan Bintan dan Tumasik, dan sub-era Kerajaan Melayu Riau. Selanjutnya, sub-era Kerajaan Melayu Riau ini dibagi lagi menjadi tiga periode, yaitu periode Kerajaan Malaka, periode Kerajaan Johor, dan periode Kerajaan Riau dan Lingga. Sekali lagi, pembagian menjadi periode-periode ini sangat penting karena berkaitan dengan perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa
Pada era Kerajaan-kerjaan Melayu ini, penyebaran bahasa Melayu mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kedatangan orang-orang Eropa yang ikut mempergunakana bahasa Melayu sebagai lingua franca tidak hanya menmbantu penyebaran bahasa itu secara ekstensif melainkan juga menaikkan statusnya sebagai bahasa yang memiliki “norma supraetnik”, melebihi norma etnik bahasa-bahasa daerah lainnya yang ada di Kepulauan Nusantara.
Pigafetta yang mendampingi Magelhaens di dalam pelayarannya yang pertama mengelilingi dunia, misalnya, berhasil menyusun glosari pertama bahasa Melayu ketika kapalnya berlabuh di Tidore tahun 1521 Masehi. Glosari Pigafetta yang sederhana ini menunjukkan bahwa bahasa Melayu yang berasal dari
Pada tahun 1581, Jan Huygen van Linschoten, seorang pelaut Belanda yang berlayar ke Indonesia, menulisa di dalam bukunya Itinerarium Schipvaert naar Oost ofte Portugaels Indiens bahwa bahasa Melayu adalah bahasa yang dipergunakan oleh banyak orang timur, dan bahwa barang siapa yang tidak mengerti bahasa itu akan berada dalam keadaan seperti orang Belanda (dari zaman yang sama) yang tidak mengerti bahasa Perancis. (Alisjahbana dalam Fishman, 1974: 393).
Pada akhir abad ke-17, sewaktu Francois Valentyn di Malaka, ia telah menulis buku berjudul Oud en Nievw Oostindien II
“Bahasa mereka, yaitu bahasa Melayu … bukan saja digunakan di pantai-pantai Tanah Melayu, melainkan juga di seluruh
Sub-era Kerajaan Melayu Bintan-Tumasik (abad ke-12 sampai dengan abad ke-13 Masehi)
Segera setelah Kerajaan Bintan didirikan di Pulau Bintan keadaan memaksa raja memindahkan ibu
Diperkirakan bahwa perpindahan pusat kekuasaan itu terjadi antara tahun 1100 Masehi sampai dengan tahun 1250 Masehi. Sayang sekali tak ada catatan tertulis yang dapat dijadikan sumber acuan mengenai peran bahasa Melaytu selama sub-era Bintan-Tumasik ini. Jadi, apakah bahasa Melayu yang dipergunakan pada sub-era ini ada hubungannya dengan bahasa Melayu pada era Kerajaan Sriwijaya tidak dapat diketahui dengan pasti.
Banyak ahli bahasa dan orinentalis menganggap bahwa bahasa Medlayu era Kerajaan Sriwijaya adalah semacam bahasa Melayu kuno seperti yang ditunjukkan oleh berbagai inskripsi batu bertulis abad ke-7 Masehi. Junus (1969) bersikap agak ragu tentang hubungan antara bahasa Melayu kuno dengan bahasa Melayu Riau. Tetapi, dengan adanya bahasa Melayu Bintan-Tumasik yang merupakan suatu bentuk bahasa peralihan antara kedua bahasa itu, maka keraguan Junus hilang dengan sendirinya. Lebih-lebih apabila diingat asumsi yang mengatakan bahwa suatu bahasa kini merupakan perkembangan bahasa masa lampau. Dengan demikian, asumsi bahwa ada hubungan antara bahasa Melayu kuno dan bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya benar adanya.
Sub-era Kerajaan Meayu Riau (abad ke-14 sampai dengan abad ke-19 Masehi)
Untuk pembahasan ini kiranya perlu dibedakan dengan jelas antara bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya dan bahasa Melayu dari sub-era Keraan Riau. Seperti disinggung sebelumnya bahwa bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya sangat dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Karena sifat kekunoannya itu, banyak ahli bahasa menyebut bahasa pada era Kerajaan Sriwijaya itu sebagai bahasa Melayu Kuno. Sementara itu, bahasa Melatu pada sub-era Kerajaan Riau atau Kerajaan Melayu Riau sama sekali tidak sipengaruhi oleh bahasa Sansekerta dan memiliki ciri khas tersendiri, yaitu Riau. Oleh sebab itu, bahasa ini disebut “bahasa-bahasa Melayu Riau”. Terdapat tiga periode dalam sub-era ini, seperti diuraikan berikut ini.
- Periode Kerajaan Malaka (abad ke-14 sampai dengan abad ke-15 Masehi)
Seperti telah dikatakan sebelumnya, tentara kerajaan Majapahit menyerang Kerajaan Tumasik yang memaksa pusat kekuasaannya dipindahkan ke Malaka di Semenanjung
Kerajaan Malaka berkibar selama hampir 100 tahun. Lokasinya yang berada di pintu gerbang Selat Malaka, yaitu rute lalu lintas pelayaran yang ramai dan penting yang menghubungkan antara Asia Timur dan Asia Barat, antara Asia Timur dan Eropa, antara Samudra India dan Laut Cina Selatan, dan antara Samudra India dan Samudara Pasifik, Malaka merupakan pelabuhan yang paling sibuk di kawasan Asia Yenggara pada waktu itu.
Pada peralihan abad ke-15, Malaka juga menjadi pusat penyebaran agama Islam. Menjelmanya
“Perlak and Pasai in
Dengan demikian, Malaka menjadi pusat dua kegiatan, yaitu perkembangan dan penyebaran bahasa Melayu, dan penyebaran ajaran agama Islam. Sebenarnya, kedua kegiatan ini terlaksana secara bersamaan, sebab para guru dan penganjur agama Islam, dalam melaksanakan misinya itu, mengikuti perjalanan para pelaut dan pedagang, mempergunakan bahasa Melayu.
Pada tahun 1511, misionaris Portugis menyerang dan menaklukkan Malaka yang memaksa dipindahkannya pusat kedua kegiatan tersebut. Pusat perkembangan dan penyebaran bahasa Melayu, dan penyebaran ajaran agama Islam pindah ke Johor.
Meskipun Malaka dijadikan oleh Portugis sebagai pusat penyebaran agama Kristen, namun peran sebagai pusat pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu tetap berlangsung. Berkat orang Portugis, penggunaan bahasa Melayu tidak terbatas hanya di kawasan Asia Tenggara saja, melainkan meluas ke pusat-pusat perdagangan di
Bahasa Melayu merambah jalannya juga ke benua Eropa dalam abad ke-16. Karena bahasa Malayulah yang dipergunakan oleh para raja atau pangeran Malayu ketika berkomunikasi dengan raja Portugis. Pada waktu yang sama, St. Francis Xavier mempergunakan bahasa Melayu untuk mengajak penduduk Maluku memeluk agama Kristen. Xavier sendiri mengatakan bahwa bahasa Melayu merupakan bahasa yang dimengerti oleh hampir setiap orang.
- Periode Kerajaan Johor (abad ke-16 sampai dengan abad ke-17 Masehi)
Dengan ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511, kegiatan kerajaan itu dipindahkan ke Johor, suatu daerah di sebelah selatan Malaka di Semenanjung
Meskipun demikian, periode Kerajaan Johor telah menyumbangkan sesuatu yang amat berharga, yaitu mempertahankan bentuk bahasa Melayu Malaka. Di Malaka, nama bahasa Melayu Malaka masih tetap dipergunakan, tetapi unsur-unsur bahasa Portugis banyak ditambahkan ke dalam bahasa tersebut sehingga pantas disebut “bahasa pidgin”. Bahasa Melayu Malaka sebelum penaklukan Portugis sangat berbeda dengan bahasa Melayu Malaka setelah Malaka dikuasai Portugis. Bahasa Malayu Johorlah yang mempertahaknkan ciri-ciri khas bahasa Melayu Malaka sebelum penaklukan Portugis.
Bahasa Melayu Johor memegang peran penting di dalam penyebarluasan agama Islam ke bagian timur Kepulauan Nusantara. Kesusastraan Melayu dari abad ke-16, dan bahkan sampai abadke-17, sangat dipengaruhi oleh ajaran dan pemikiran Islam. Bahasa Melayu Johor sangat berjasa di dalam penyebaran ajaran agama Islam di Kepulauan Nusantara, bahkan di kawasan Asia Tenggara.
- Periode Kerajaan Riau-Lingga (abad ke-18 sampai dengan abad-19 Masehi)
Pada tahun 1719 Raja Kecil, dari Istana Kerajaan Johor, dipaksa memindahkan pusat kekuasaannya ke Ulu Riau, di Pulau Bintan, salah satu pulau yang bergabung dalam Kepulauan Riau. Pemindahan ini merupakan permulaan dari suatu periode dalam pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu, yaitu periode Kerjaan Riau dan Lingga. Dalamperiode inilah bahasa Melayu memperoleh ciri ke-Riau-annya, dan bahasa Melayu Riau inilah yang merupakan cikal bakal bahasa Nasional Indonesia yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.
Periode Kerajaan Riau dan Lingga tercatat mulai tahun 1719, ketika didirikan oleh Raja Kecil, sampai dengan tahun 1913, ketika kerajaan itu dihapus oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Selama keberadaan kerajaan ini hampir 200 tahun lamanya, ada tiga momentum yang penting sekali bagi perkembangan dan persebaran bahasa Melayu Riau, yaitu tahun 1808, ketika Raja Ali Haji lahir; tahun 1857, ketika Raja Ali Haji menyelesaikan bukunya yang berjudul Bustanul Katibin, suatu tatabahasa normatif bahasa Melayu Riau; dan tahun 1894, ketika percetakan Mathba’atul Riauwiyah atau Mathba’atul Ahmadiyah didirikan.
Pengoperasian percetakan Mathba’atul Riauwiyah ini sangat penting karena melalui buku-buku dan pamflet-pamflet yang diterbitkannya, bahasa Melayu Riau tersebar ke daerah lain di Kepulauan Nusantara. Yang lebih penting adalah usaha pembakuan bahasa Melayu Riau sudah dimulai.
Selama perang antara Perancis dan Inggris yang berlangsung di Eropa, yang berakibat Negeri Belanda sempat diduduki Perancis beberapa tahun, selama itu terjadi pula perang antara kekuasaan Inggris di Asia Tenggara dan kekuasaan Belanda yang tunduk kepada {emerintah Perancis di Kepulauan Nusantara.
Untuk beberapa tahun lamanya, 1819 – 1824, Pulau Jawa dan Pulau
Orang-orang Blanda datanga pertama kali ke
Di sinilah, Selat Malaka, di daratan Semenanjung Malaya, kekuasaan kolonial Inggris semakin mencekamkan kukunya. Setelah jatuh ke tangan Portugis, daerah Malaka ini semakin penting perannya sebagai pusat perdagangan. Tertarik oleh kekayaan yang melimpah yang dipersembahkan oleh daerah ini kepada raja Portugis, perusahaan British Est India, yang pada saat itu masih beroperasi di anak benua India, mulai meluaskan daerah perdagangannya ke Asia Tenggara. Segeralah muncul konflik kepentingan di antara ketiga kekuasaab kolonial: Inggris, Beanda, dan Portugis.
Dari sudut pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu, konflik antara Inggrs dan Belanda sangat penting, karena konfrontasi antarakedua kekuasaan itu berakhir pada pembagian kawasan Kepulauan Nusantara menjadi dua, berdasarkan variasi bahasa Melayu yang dipergunakan di kawasan itu, yaitu bahasa Melayu Johor dan bahasa Melayu Riau.
Pada 2 Februari 1819, kuran lebih tiga abad setelah orang-orang Eropa tiba di Kepulauan Indonesia, Stamford Raffles, ketika dia menjadi Letnan Gubernur Jenderal di Bengkulu, atas nama pemerintah kolonial Inggris mendirikan kota Singapura pada salah satu pulau (Tumasik) yang bergabung dalamKepulauan FRiau. Setelah benteng Singapura ini didirikan, Inggris dan Belanda berada dalam konflik bersenjata terus-menerus karena berebut kepentingan. Segera setelah perang Napoleon di Eropa mereda, pada tahun 1824 ditandatangani persetujuan untuk mengakhiri konflik bersenjata antara Inggris dan Belanda di Asia Tenggara. Persetujuan itu terkenal dengan nama
Bahasa Melayu Riau yang merupakan bahasa ibu penduduk Kerajaan Riau dan Lingga dan pulau-pulau di sekitarnya, berkembang dan menyebar dengan sangat pesat, sesuai dengan keperluan masyarakat yang bersangkutan sebagai alat komunikasi lisan. Bahkan, sejak berlakuknya Persetujuan
Publikasi karya Raja Ali Haji dan pengarang lain dapat dianggap sebagai upaya awal dalam proses pembakuan bahasa Melayu Riau. Bahkan, pada permulaan abad ke-20 karya-karya ini dijadikan buku acuan oleh ahli-ahli bahasa Belanda. Bahasa Melayu Riau yang sedang berkembang pesat dan tumbuh dengan sehat ini oleh banyak ahli bahasa disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi.
Perkembangan Bahasa Melayu Sebelum Traktat
Sesudah Traktat London ditandatangani antara pemerintah Inggris dan Belanda, pemisahan antara Bahasa Melayu versi Riau dan Johor semakin nyata. Bahasa Melayu versi Johor di Semenanjung
Bahasa Melayu Riau mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini disebabkan oleh masyarakat pribumi yang bersifat multi-etnik yang mempunyai bahasa daerah sendiri-sendiri. Di samping itu, bahasa Melayu yang sejak dulu menjadi lingua franca meningkat statusnya menjadi bahasa yang memiliki norma supra-etnik dikuasai oleh hampir semua orang yang suka berlayar atau bepergian ke mana-mana.
Beberapa peristiwa penting menyangkut perkembangan bahasa Melayu Riau dapat diungkapkan di bawah ini.
1. Tahun 1865 bahasa Melayu Riau diangkat oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda sebagai bahasa resmi kedua mendampingi bahasa Belanda. Pranan ke-lingua
2. Tahun 1901 Charles van Ophuijsen menerbitkan bukunya yang berjudul Kitab logat Melajoe: Wondenlijst voor de Spelling der Maleische
3. Tahun 1918 bahasa Melayu mulai dipergunakan di dalam sidang-sidang Volksraad (Dewan Rakyat). Dengan demikian status bahasa Melayu meningkat menjadi bahasa supraetnik melebihi bahasa-bahasa daerah lainnya.
4. Tahun 1920 bahasa Melayu menjadi bahasa Balai Pustaka. Semua buku hasil penerbitan Balai Pusataka mempergunakan bahasa Melayu. Penyebaran bahasa Melayu ke pelosok Nusantara semakin intensif. Semua sekolah dasar di desa-desa mempergunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Di samping itu, bahasa Melayu juga menjadi bahasa para pejuang kemerdekaan
5. Pada tanggal 28 Oktober 1928 bahasa Melayu dijadikan oleh para peserta Kongres Pemoeda sebagai bahasa persatuan yang tertuang pada butir ketiga Soempah Pemoeda yang diikrarkannya.
6. Pada tahun 1933 bahasa Melayu menjadi bahasa Poedjangga Baroe sekelompok pegarang yang menerbitkan berbagai majalah dan buku.
7. Pada tahun 1938 Kongres bahasa Melayu (
8. Tahun 1942 – 1945 Kepulauan Nusantara diduduki oleh balatentara Jepang. Bahasa Melayu menjadi satu-satunya bahasa pengantar pada semua jenjang pendidikan.
9. Pada tanggal 17 Agustus 1945 proklamasi kemerdekaan
10. Tahun 1954 Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini dihadiri pula oleh utusan dari Semenanjung
11. Tahun 1972 antara Republik
12. Pada tanggal 16 Agustus 1972 diumumkan pemberlakuan Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) di Indonesia dan di Malaysia. Kenyataan ini menjadikan bahasa Melayu sebagai norma supra-nasional.
13. Pada tanggal 30 Agustus 1975 diumumkan pula pemberlakukan tatacara pembentukan istilah di
14. Kongres Bahasa Indonesia III dan seterusnya diselenggarakan secara teratur setiap
15. Kerja sama kebahasaan antara Negara Kesatuan Republik
Perkembangan bahasa Melayu versi Johor di Semenanjung Melaya dan Singapura tidak sepesat dengan perkembangan bahasa Melayu versi Riau di Kepulauan Nusantara. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya politik bahasa yang dianut oleh Inggris. Pemerintah Kolonial Inggris mengakui adanya empat bahasa resmi, yaitu bahasa Melayu, bahasa Mandarin, bahasa Tamil, dan bahasa Inggris. Keempat bahasa itu dipergunakan sebagai bahasa pengantar pada lembaga-lembaga pendidikan. Umumnya, bahasa Inggris paling dominan dipergunakan sebagai bahasa pengantar.
Keadaan kebahasaan seperti digambarkan di atas berlangsung sampai dengan terbentuknya Negara Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1956. Peristiwa ini kemudian disusul dengan terbentuknya Negara Malaysia, yang mencakup Serawak dan Sabah (North Borneo), yang merdeka dan berdaulat, lepas dari kekuasaan Inggris. Setelah kemerdekaan dicapai, bahasa Melayu di negara tersebut mulai memerankan fungsinya sebagai bahasa resmi, bahasa negara, bahasa nasional, dan mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Fenomena ini menunjukkan bahwa sampai saat ini bahasa Melayu, baik yang sekarang menjadi bahasa Indonesia di Indonesia, bahasa Melayu di Malaysia, bahasa … di Brunai, dan bahasa … di Singapura, tetap berkembang dan menjalankan fungsinya sebagai alat komunikasi secara efektif. Bahkan, secara de facto telah berperan sebagai bahasa komunikasi luas di Asia Tenggara. Yang diperlukan adalah pengakuan dari internasional (lewat PBB) bahwa bahasa Melayu merupakan salah satu bahasa yang layak dipakai sebagai bahasa komunikasi internasional atau dunia. Apabila harapan ini tercapai, berarti secara de jure bahasa Melayu semakin mantap.
Pustaka Acuan
Abas, Husen. 1987. Indonesian As a Unifying Language of Wider Communication: a Historical and Sociolinguistic Perspectives.Canberra:
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1974. “Language Policy, Language Engineering and Literacy in
Fishamn, Joshuo A., ed. 1974. Advances in Language Planning.
Hamidy, U.U. 1973. Bahasa Melayu Riau: Sumbangan Bahasa Melayu Riau kepada Bahasa dan Bangsa
Junus, Umar. 1969. Sedjarah dan Perkembangan Kearah Bahasa Indonesia dan Bangsa
Joyonegoro, Wardiman. 1995. “Pidato Pembukaan KIP BOPA III”. 28 Agustus 1995.
Dikutip Dari: http://muslich-m.blogspot.com/2007/04/sejarah-perkembangan-bahasa-indonesia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar